Sabtu, 20 Oktober 2012

Part Three – SD Kelas 4B, 5B, dan 6C (sub-chapter Darkness and Power)


Kalau mau dirangkum, masa kecilku mungkin dapat terdiri dari tiga kata: Darkness, Power, and Intelligence.

Darkness
Beberapa hal gelap dalam diriku, adalah suatu fenomena yang dulu aku sering alamin waktu kecil. Sekarang aku menamakan fenomena itu waktu “The Howler”.

Saat kecil aku cukup sering beberapa kali terbangun ditengah malam. Well, sejauh ini normal, cuma hal-hal biasa terjadi pada anak kecil mungkin. Ketika aku terbangun yang paling menggangguku itu,pertama, aku gak bisa tidur lagi, kecil-kecil udah insomnia? Yah, mungkin ketakutan akan kegelapan dan kesendirian saat kecil yang wajar.

Kedua, saat tengah malam dan terbangun sendiri, ada sensasi aneh seakan semua bunyi malam naik beberapa desibel di telingaku. Detik jam berbunyi seperti orang masang paku, bunyi jangkrik sekeras orang lagi gergaji kayu, dan lain-lain. Dunia seakan lebih gelap dan suram, cahaya seperti kekurangan intensitasnya.

Ketiga, yang paling menyebalkan, kepalaku terasa berat dan ada yang teriak di dalam kepalaku. Teriakan itu kayak orang yang lagi teriak persis di telingaku, tapi waktu aku tutup telinga gak ngefek sama volumenya. Selama beberapa puluh menit yang terasa berjam-jam itu aku cuma bisa mencoba balas teriak suara yang ada di kepalaku, tapi aku cuma bisa membuka mulut dan tak ada suara yang keluar. Syukurlah bahwa semakin aku besar, fenomena ini makin jarang terjadi.

Beberapa hal gelap lain adalah sifat sombong dan rasisku.

Aku sering ditanya orang, “Kau dari Purwokerto, kenapa gak ngomong ngapak?”
Biasanya kujawab, “Aku gak ada darahnya, Ayahku Demak dan Ibuku Sunda”
Terus orang yang masih penasaran tanya lagi, “Tapi kau lahir dan besar di Purwokerto kan? Emang temenmu gak ada yang ngapak?”
Aku cukup jawab, “Aku anti-sosial waktu kecil…” hahaha…
Well alasan sebenarnya ada lagi sih.

Dari kecil aku beranggapan Bahasa Banyumas itu aneh dan tak cocok denganku, atau aku dibuat beranggapan demikian, karena orangtuaku menganggap aneh bahasa itu ketika pertama kali menginjakkan di tanah ini saat kuliah. Semacam ada dogma untuk tidak menggunakan bahasa lokal, aku lebih baik berbahasa Indonesia kalau tak bisa Jawa dialek Semarang atau Sunda, hahahaha….

Suatu hari, saat aku sedang di SD Bruderan untuk mengikuti pelatihan dokter kecil, ada seorang anak setempat menghampiriku. Dia berusaha berkomunikasi denganku, mungkin mengajak berteman atau apalah…

kowe jenenge blukutuk…blekbluk….” dia berbicara denganku, tapi aku tak tahu apa maksudnya…
Gelem dolan blekblukutuk…kuluk-kuluk…” dia ngomong lagi tapi cuma sedikit yang aku pahami, akhirnya aku hanya menjawab…

Kamu mau ngomong apa sih? Kamu tahu gak? Bahasa terjelek di dunia itu, banyumas tahu…
Akhirnya dia kaget, pasang raut wajah aneh, dan lari meninggalkanku, ya sudahlah…

Di SD-ku, memang ada beberapa anak ras asli setempat, tapi aku tak terlalu akrab dengan mereka. Aku biasanya main sama anak-anak yang mirip sepertiku, sebenarnya bukan turunan ras setempat, hehehe….

Untunglah bahwa semakin besar aku belajar untuk mencoba menghargai tiap budaya.

Power
Kekuasaan, ya dan aku mugkin suka dengan kekuasaan atau mempengaruhi sekitarku saat kecil. Bentuk cari perhatian dan keinginan untuk diakui yang wajar waktu kecil. Ada macam bentuknya pada pengalamanku.

Saat kelas empat, pemilihan ketua kelas, entah kenapa aku ingin sekali jadi ketua kelas. Tentu saja berasa keren. Langsung menunjukkan jari dan lupa gimana prosesnya, pokoknya aku jadi ketua kelas aja deh. Yang paling kuingat, aku senang mengerjakan semua tugasku dengan baik, mengatur jadwal piket, memangggil guru untuk mengajar di kelas, merapikan barisan, dan lain-lain.

Sampai suatu saat aku lupa mengerjakan satu tugas yang sudah jadi rutinitas, memanggil guru yang belum datang, kebetulan guru yang belum datang itu wali kelas. Alasan kenapa aku lupa juga konyol sih, mainan bola dengan teman, lupa waktu, dan sekelas ribut karena gak ada tuannya. Akhirnya aku diturunkan jabatannya menjadi wakil ketua kelas, dan wakil ketua kelas sebelumnya menjadi ketua kelas. Aku pertama kali merasakan post-power syndrome. Sebal juga, dan kenapa harus wakil ketua kelas yang serampangan anaknya, serta gak becus itu dapat menggantikanku? Kemarahan anak kecil yang wajar, hahahaha….

Hal lain adalah mengajak teman-temanku menuruti kemauanku.

Saat itu teman-temanku lebih suka bermain kasti saat pelajaran olahraga. Aku yang suka dengan budaya Jepang, menganggap permainan kasti itu gak keren. Sedikit aneh melempari orang dengan bola, well aku tentu saja lebih suka softball. Kemudian aku mengajak teman-temanku untuk mengubah sedikit peraturannya menjadi softball. Aku terangkan tentang base, softball, dan perolehan poinnya. Aku tegur orang yang masih melempar orang, dan bukan temannya penjaga base..

“kau lempar ke temanmu yang penjaga base dua itu..!! bukan yang lagi lari, ini kan bukan kasti..!!”
“nih, gini yah, kalo kau lempar ke panjaga base dua sebelum musuhmu yang lagi lari sampe, kau mencegahnya dapat poin…mudeng..??”

Pada akhirnya toh gagal total sih, teman-temanku banyak yang susah mudeng dengan softball, dan akhirnya aku memilih untuk melihat mereka bermain permainan aneh itu saja. Kasti, darimana sih peraturannya berasal..?? Menurutku kalah beradab dibanding dengan softball… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar