Rabu, 30 Maret 2011

Minggu, 13 Maret 2011

SPLITTED SOUL

Aku membuka mataku. Dan dihadapanku hanya ada warna putih, sejauh memandang hingga cakrawala. Begitu terang, putih, namun tak menyilaukan. Aku berada di padang beralas lantai gading bersih dan mengkilap, dengan langit putih awan yang sama sekali tak kukenali.

Aku berdiri, dan melihat sekelilingku, tak ada yang lain selain diriku, dan beberapa helai bulu sayap yang gugur dari sayap patahku. Aku hanya bisa melipat dan meregangkan sayap putih dipunggungku, sambil terheran ketika melihat bayangan diriku di lantai gading jernih ini. Semua sama, kecuali sayap dibayanganku begitu buruk rupa. Hitam, kulit mengelupas hingga tulang terlihat, dan tak ada bulu melainkan hanya membran diantara cakar-cakarku disayapnya.

Sesosok tubuh bercahaya, yang kali ini sungguh menyilaukan, datang entah darimana dan berdiri dihadapanku. Aku sedikit terhenyak dan mundur ke belakang beberapa langkah. Ketika tubuh bercahaya dan transparan itu melemparkan dua benda dihadapanku dan mereka berdentang begitu keras.

“Kau..!!! tak seharusnya berada disini, sekarang…!!!”

Suara itu bagai gema di gua yang bergaung, ditelingaku. Namun sepertinya dari sosok yang sekarang menghilang setelah kusadari apa yang dijatuhkan dihadapanku. Sebuah belati dan sebuah cincin.

Kuambil cincinnya, emas, polos, dan sederhana. Ketika kukenakan di jariku. Sekelebat ingataku yang sama sekali tak ada yang jelas, bertumpuk-tumpuk, dan berganti-ganti berulang-ulang begitu cepat memenuhi pikiranku.

“KAU YANG SALAH..!!”

“KAU MENYEDIHKAN..!!”

“KAU PAYAH DAN LEMAH..!!”

“TAK ADA YANG PEDULI..!!”

“APA PULA MAKSUDMU..!!”

“KAU TAHU PERSIS ITU TAK SEHARUSNYA..!!”

“KAU SUNGGUH ANGKUH..!!”

“APA YANG AKAN KAU KATAKAN PADA MEREKA..!!”

“SEMUA SUDAH TAK BERGUNA SEKARANG..!!”

Kalimat-kalimat itu berulang-ulang diteriakan dikepalaku, dan membebani benakku, selagi tumpukan memori itu masih berkelabat cepat berganti-ganti, terbayang. Begitu sakit kepalaku, hingga akhirnya mataku kembali terbuka seraya aku membanting cincinnya kedepan. Suara dan bayangan itu pun menghilang.

Ternyata aku telah tertunduk dan menahan tubuhku dengan kedua lenganku, dengan nafas tersengal, cepat dan pendek. Di sebelah telapak tangan kiriku, tergeletak belati perak itu. kuambil belatinya, dan yang terjadi hanyalah rasa hangat, nyaman, tenang, dan bahagia. Namun itu menghilang lagi dengan cepat ketika belatinya berubah hitam dan dingin.

Lalu aku tak tahu kenapa aku melakukannya, kuambil cincin yang ternyata telah berubah hitam pula, aku berjongkok dan memutar cincinnya seperti memutar keping logam. Kupandangi lama sekali, berjam-jam, dan cincin itu masih berputar seakan tak mau goyah dan tak mau jatuh. Aku tak mengerti lagi kenapa aku melakukannya, seakan ada tangan yang mengendalikan tanganku, dan tak bisa kucegah atau kulawan. Aku juga mendengar suara diteriakan di belakang telingaku.

“Kau..!!! tak seharusnya berada disini, sekarang…!!!”

Aku memegang belatinya terbalik saat ini, yang sudah dalam posisi tepat kearahku, dan dengan cepat belatinya ditusukkan ke perutku.

Rasa sakit, perih, menusuk, dingin, merayapi seluruh tubuhku. Tubuhku sekarang mendingin dan beku, namun ada rasa membakar dari luka yang baru saja kubuat. Dan dibayangan diriku yang terlihat di lantai gading putih dan jernih itu, terlihat diriku yang meronta, kesakitan, sekarat, dan terbakar api. Walau aku yakin diriku sedang diselimuti lapisan es yang dingin yang membuat diriku hanya bisa tergeletak tak bergerak.

Aku berusaha teriak, sekeras mungkin, namun tak ada suara yang keluar dari mulutku, selain sekelebat memori dan suara mengerikan beruntun itu datang lagi. Dan aku yakin aku tak bisa bernafas lagi, sesak, dan pandanganku telah kabur, perlahan.

***

Aku membuka mataku lagi, namun yang kuhadapi sinar yang terang, putih, tapi menyilaukan. Pandanganku mulai bertambah jelas lagi, namun luka diperutku masih terasa begitu sakit dan perih menusuk. Aku mengerjapkan mataku, dan sesosok wanita disampingku berkata padaku dengan nada suaranya yang sedikit bergetar.

“kau sudah siuman..?? kau sudah bangun..??”

Aku masih bingung dan tak bisa mengatakan apa-apa. Kemudian ada suara lain lagi.

“Syukurlah kalau dia tersadar, masa kritisnya dilewati dengan baik, aku sudah berusaha dan berharap tak terjadi infeksi di luka tusuk perutnya”

“terima kasih Dok, Alhamdulillah”

“Ohya, ada kabar baik dari bagian forensik, mereka telah mendapat informasi siapa pemilik sidik jari yang tertinggal di gagang pisaunya dari polisi, sekarang sedang diproses lanjut”

“iya, sekali lagi terima kasih Dok”

(Roe Lesta, 11 & 13 Maret 2011)

Sabtu, 05 Maret 2011

29 Laps of Twin Ring Motegi Circuit.

Starting Grid, Sighting Lap, Warm Up Lap

Setelah bangun pagi oleh mentari pagi di hotel seberang, test warm up pagi dengan setting motor terakhir, disinilah aku sekarang. Menyesuaikan baju balapku, di pit garage, selepas siang dan menjelang balap. Lampu pit lane sudah menyala hijau pukul 13.50, pertanda waktu sighting lap dimulai. Aku memasang pelindung telinga dan memasang helmku. Mencoba melakukan beberapa stretching di depan motor Ducati-ku yang sudah menyala dan meraung di pintu garasi.

Melihat sebentar motornya, menaikinya, memegang stangnya, mengecek tuas rem dan koplingnya. Lalu dengan reflek start yang biasa, aku melajukan motornya keluar garasi menuju pintu pit lane, memulai flying lap untuk menempati starting grid-ku. Setelah sampai di gridku, semua anggota timku sudah siap disana untuk kembali memasang tyre warmer, standar ban belakang, kabel data pada motorku, dan mencoba mengecek semua terakhir kali, memastikan semuanya masih baik-baik saja. Aku menempati posisi start posisi tujuh baris ketiga, tak terlalu bagus tapi lumayan berada di papan tengah.

“Semuanya sudah siap Zack, coba untuk finish beberapa grid di depan posisi start ya..??” kata kepala teknisi timku, George Novell, sepertinya dia yakin dengan setting terakhirnya pada uji coba pagi tadi.

“Aku hanya akan membalap dan menjalankan motor sebagaimana semestinya, kau tahu aku tak pernah mencoba memikirkan hasil disaat-saat seperti ini George”, aku tak suka berpikir terlalu rumit saat mengendarai motor, aku hanya suka menikmatinya saja.

Selagi menunggu waktu warm up lap kemudian setelahnya balapan dimulai, aku mencoba menyederhanakan pemikiranku, mentalku, dan mencoba rileks. Tegang itu pasti, tapi aku mencoba mengatasinya, dan berpikir optimis.

Lap 1 of 29, 29 lap to go.

Aku kembali ke garis awal start-finish dan menempati posisi startku kembali. Bedanya pada kali ini setelah warm up lap, tak ada timku, tinggal hanya aku sendiri dan pembalap-pembalap lain. Lampu merah menyala, dan semua pembalap memperhatikannya. Aku menarik tuas koplingku dan mempersiapkan refleks tanganku digas motor. Semua mesin sudah menderu keras, dan hanya dengan matinya lampu merah itu, semua horsepower tenaga motor, torque dari torsi motor, dan rpm putaran mesin motor akan mengalir ke ban belakang dan melesatkan motor dan pembalapnya.

Race is start!

Startku ternyata biasa saja, tak terlalu spesial atau bagus. Start yang bagus adalah hal yang jarang bisa kulakukan memang. Menuju tikungan pertama aku yakin aku masih dalam kisaran posisi awalku. Mencoba mengikuti ritme dulu dari keseluruhan pembalap, selagi mencoba mencari waktu, kapan ban motorku benar-benar mencapai suhu optimalnya. Lap pertama seperti biasa saja, aku mencoba membiasakan diri dengan balapannya.

Setting pada pagi hari benar-benar bekerja, setelah banku cukup panas, aku menikmati balapannya. Aku menegerem telat dekat tikungan, dan mulai memuntir gasnya secepatnya setiap keluar tikungan. Lap time-ku bagus, cepat, dan konsisten. Aku mulai mengenali dan terbiasa dengan sirkuitnya. Mencoba mengambil keuntungan di tiap racing line, mencari kecepatan yang pas di tiap tikungan, dan aku mulai bisa menyalip beberapa pembalap didepanku, hingga aku memasuki posisi ke-4. Rider yang berada diposisi podium terakhir berada beberapa tenth didepanku dan aku yakin aku bisa menyalipnya, ditikungan depan. Di tikungan setelah backstraight, terdapat tikungan tajam ke kanan yang cukup lambat. Aku melakukan hard late braking, dan semuanya masih stabil. Aku menyalipnya, dan menuju tikungan untuk kemudian ke jalur lurus start finish. Anehnya, pit board instruction tidak menunjukkan posisiku di tempat ketiga, namun justru ditempat pertama. Hal yang kupikirkan adalah, pasti pembalap pertama dan kedua bertabrakan lalu jatuh, atau paling tidak melebar dan keluar lintasan. Aku tak melihatnya, karena aku hanya biasa fokus pada jalur balap dan rider didepanku.

Aku memimpin…!!!

Lap 7 of 29, 22 lap to go.

Pada saat aku melewati garis finish kembali dilap tujuh, hal yang benar-benar menyebalkan terjadi. Pengawas balap menunjukkan kode bahwa aku harus menurunkan posisiku ke posisi kedua. Pasti karena aku menyalip dan tak sadar bendera kuning sebenarnya telah berkibar karena ada kecelakaan. Benar-benar aturan yellow flag penalties yang memuakkan, sekarang. Aku diberi waktu lima lap untuk melakukannya, membiarkan pembalap dibelakangku menyalipku. Padahal aku hanya bermaksud cepat, menyalip, dan berusaha memimpin balapan. Bukankah itu yang diinginkan semua pembalap? Kadang aku begitu muak dengan peraturannya, apa bedanya bendera kuning dan tidak? Toh pembalap tetap akan memacu motor kami habis-habisan?

Aku melambat dan bermaksud membiarkan pembalap belakangku melewatiku sesuai instruksi penalti, karena jika tidak hukumannya lebih parah, pit through. Sialnya, yang melewatku justru tiga pembalap sekaligus yang memang sedang berdekatan, aku tak bisa memecah grup mereka. Aku tak hanya kehilangan posisi pertama, aku keluar dari deretan podium!

Dan disinilah aku sekarang, sendirian di posisi ke-4, tapi mungkin di beberapa lap kedepan, ini kesempatanku. Kesempatanku untuk mengenali sirkuitnya lebih baik lagi, bukan hanya aspal jalur balap, namun juga tribun penonton, marshall dan dimana bendera biasa dikibarkan. Paling tidak penalti itu ada manfaatnya untukku. Aku bisa melihat grup pembalap podium didepanku dan memperhatikannya. Aku mempelajari gaya balap mereka, lining yang mereka ambil, untuk kemudian aku salip lagi, semuanya. Untuk kembali memimpin. Dalam posisi empat ini, tak semuanya berjalan seburuk yang kukira.

Lap 13 of 29, 16 lap to go.

Tak ada yang bisa menghalangiku, setting motorku benar-benar sedang bagus dan sesuai dengan sirkuitnya sekarang. Walau diposisi ke-4 saat ini, aku adalah pembalap tercepat saat ini. Aku mencetak fastest lap ditiap lap secara konsisten. Hanya masalah waktu aku bisa overtake seluruh pembalap didepanku. Aku mendekati mereka satu persatu, memotong jarak tenth demi tenth di tiap lapnya, dan menyalip setelah cukup dekat, di beberapa tikungan. Hal ini benar-benar sesuai keinginanku, dan harapanku, dan semuanya sungguh berjalan begitu baiknya, aku benar-benar bisa mulai optimis akan hasilnya.

Hingga sekarang hanya tersisa seorang pembalap Honda didepanku. Dari pembicaraan di garasi sebelumnya, sirkuit ini adalah markas pabrikan mereka, semacam Home Race. Motor Honda yang kutahu memiliki setting paling balance, sesuai, dan sempurna untuk sirkuit ini. Mulai dari mesin, suspensi, sasis, dan sebagainya. Kupikir akan sulit menyalipnya sekarang, sebuah motor yang lebih stabil, lebih cepat, dan mesin lebih reliable, dari Ducati-ku. Aku mulai bertanya-tanya, bisakah aku, mengalahkan sebuah motor sempurna yang seakan-akan sirkuit ini dibuat untuk Honda, dan Honda akan memenangkan GP Motegi?

Jadi aku membuntutinya terlebih dahulu, mencoba mempelajari rider didepanku lebih seksama. Dan kupikir aku lebih mempunyai keuntungan saat ini. Pembalapnya tak dapat menggunakan keunggulan motornya dengan baik, dia benar-benar lebih lambat dariku. Pembalap yang satu ini memiliki satu kekurangan dibanding aku, dan itu fatal untuk sekarang. Aku mengenali tiap tikungan sirkuit ini jauh lebih baik darinya. Jadi aku mempercepat motorku, sekarang dia disisi kiriku, aku mengerem lebih lambat. Keluar tikungan aku mampu mengambil keuntungan dijalur dimana aku dapat menarik gasku lebih cepat, dan aku meninggalkannya, seorang pembalap dengan motor Honda sempurna, tak bisa mengalahkan skill-ku dan motorku sekarang.

Secara bersih, tanpa penalti, tanpa karena ada yang kecelakaan, aku kembali yang terdepan!

Lap 15 of 29, 14 lap to go.

Aku yang tercepat. Aku yang terdepan. Aku diposisi pertama.

Tiap tikungan di tiap lapnya, aku dalam kecepatan yang optimal dan maksimal. Tiap melewati garis finish ditiap lapnya fastest lap baru tercetak secara konsisten. Tiap tahap pengereman, dan setiap kali aku menarik gasnya, aku merasa melakukannya dengan lebih sempurna dan sempurna lagi. Tiap memiringkan motornya dan merasakan akselerasinya aku yakin bahwa tiap detail dalam motorku telah disetting secara benar, tepat, dan sesuai dengan sirkuitnya. Tiap melewati tribun penonton dan pendukungku, aku mendengar sorak riuh mereka yang makin memompa adrenalinku. Tiap pitboard instruction saat melewati jalur start, timku terlihat menyemangatiku, dengan berita gembira tulisan “P1” di papan yang mereka julurkan keluar pitbox.

Aku benar-benar menikmati momen ini, seakan hari ini sirkuit ini buatku dan milikku, serta aku benar-benar merasa senang dengan balapannya.

Lap 23 of 29, 6 lap to go.

Mulai dari lap ke-23. Aku mulai merasakan ada yang tak beres dengan motorku. Sasisnya mulai lebih sering bergetar berlebihan. Ban belakang mulai sliding tiap keluar tikungan. Aku tak bisa lagi melakukan pengereman selambat mungkin. Benar-benar ada yang tak beres dengan motorku.

Waktu tempuh lapku pun tak bisa lebih cepat lagi, dan mulai menurun. Kemudian aku sadar, setting motor ini memang cepat, namun dengan cepat pula menghabiskan kompon banku, lebih dini dari seharusnya. Aku tak bisa melakukan lebih jauh lagi bila bannya sudah bermasalah. Karena tak peduli seberapa bagus mesin, suspensi, rem, dan sasis, penghubung satu-satunya antara keunggulan motor dengan sirkuit adalah tapak ban motor. Jadi tak ada yang bisa kulakukan selain melewati sisa lap dengan menarik remku lebih dini dan menahan gas motor di tiap tikungan. Aku melambat.

Keadaan tak bisa bertambah lebih buruk? Hanya dari pit team-ku, aku tahu bahwa dibelakangku, beberapa detik, seorang pembalap Yamaha mendekatiku dengan cepat. Dan aku benar-benar mulai pesimis apakah aku bisa memenangkan balapan ini. Sepertinya setting motornya lebih sesuai dengan sirkuit dari Jepang ini. Selain Honda, Yamaha juga pabrikan motor dari negeri ini. Dan tentu saja mereka tak ingin ada pabrikan Italia menjadi tuan di Twin Ring Motegi Circuit.

Aku mencoba semua yang kubisa. Hal itu sekarang sudah sangat sulit sekarang. Bukan hanya karena kondisi motornya memang sudah tak sesuai lagi, namun aku mulai berpikir terlalu rumit dibalapan ini. Seharusnya aku hanya berpikir bagaimana mengendalikan motorku, dan bukannya ketakutan karena aku akan kehilangan posisi pertama yang kupegang saat ini. Aku mulai berpikir apa yang bisa kulakukan jika tak memenangi balapan ini? Aku tak bisa merayakannya dengan selebrasi spesial. Aku tak bisa menghadapi fans dan penonton yang dari tadi berteriak dan bersorak untukku. Entah apa yang bisa kukatakan pada timku nanti.

Dan selagi aku berpikir demikian, pembalap pabrikan garpu tala itu benar-benar sudah membuntutiku persis dibelakangku. Aku mencoba menutupi jalur balapnya, dan mencoba apa yang bisa kulakukan di akhir-akhir lap ini untuk tetap berada didepan. Walau motorku mulai sliding gak karuan, suspensi depan bergetar hebat tiap mengerem lambat. Tetap saja pembalap yang entah datang darimana sebelumnya, cukup menyebalkan karena dia benar-benar cepat. Aku kehabisan rasa optimisku, aku sudah mulai membayangkan dia yang akan memenanginya, dan itu benar-benar pahit untuk sekedar dipikirkan.

Di bagian sirkuit yang terdiri dari trek lurus panjang, dan berakhir di sebuah tikungan lambat patah kekanan, aku mencoba peruntunganku. Aku tahu aku cepat di trek lurus, mesin Desmosedici Ducatiku bisa kuandalkan dalam hal topspeed. Jadi kutarik gas habis-habisan, dan nanti mengerem cukup lambat untuk mengambil keuntungan beberapa tenth lagi, sehingga aku akan tetap berada didepan hingga finish. Aku mulai menyingkirkan rasa takutku, kukira aku hanya mulai berpikir berlebihan dan berpikir yang tidak-tidak. Aku mencoba membangun rasa optimisku kembali, sedikit demi sedikit. Untuk kembali tersenyum dan membayangkan hasil akhir yang indah. Aku tak ingin menyesal nanti,bahwa aku kehilangan kemenangan hanya karena aku sama sekali tak melakukan apapun. Dan aku mulai menarik remnya di titik yang cukup telat, lambat, dan dekat dengan tikungan.

Dan saat itu pula hal yang diluar dugaanku terjadi, benar-benar hal terburuk yang bisa kubayangkan selama ini.

Lap 26 of 29, 3 lap to go.

Lap ke-26, motorku mengalami skidding, bergetar kemudian bergoyang hebat tak terkendali. Aku kehilangan traksi, dan tak bisa mempertahankan racing line. Aku keluar dari jalur cepat di treknya. Aku melebar dan memasuki dirty track. Aku hanya bisa menjaga motorku agar hal yang lebih buruk tak terjadi, aku tetap dilintasan, tidak jatuh, dan tidak keluar ke runoff gravel.

Namun hal yang sudah diduga, diprediksi, namun sama sekali tak kuinginkan apalagi kuharapkan telah terjadi. Lap ke-26, ditikungan chicane terakhir, dia menyalipku, sang pembalap Yamaha. Walau sebelumnya hal ini sudah bisa kuduga, namun aku masih heran kenapa bisa terjadi seperti ini. Walau sebelumnya hal ini bisa diprediksi, namun tetap saja menyebalkan bagi seorang pembalap melihat pembalap lain melewatinya. Walau hal yang tak kuinginkan apalagi kuharapkan telah terjadi, namun pahitnya terjadi disaat aku mencoba optimis kembali dan melakukan manuver terakhir yang kupikir akan bisa menetralkan situasi, kalau memang tak bisa membalikannya.

Lap 26 of 29, 3 lap to go. But the race is over now, for me.

Lap 29 of 29, last lap.

Tiga lap tersisa, dan menyakitkan tak bisa melakukan apapun lagi. Aku hanya bisa melihat pembalap posisi pertama, semakin cepat dan menjauh, dan aku diposisi kedua. Tim menjulurkan papan informasi balapan, dan yang kuperhatikan hanya berapa lagi lap yang tersisa. Tiga lap yang bisa terasa begitu lama. Sebal dengan tulisan “P2” di papan info itu. Di lap yang tersisa aku hanya menjalankan motornya agar finish saja.

Mungkin masih beruntung karena yang berada diposisi ketiga benar-benar jauh, dan aku tak peduli. Aku mencoba berpikir positif, walau susah. Karena aku selalu memikirkan dimana kesalahanku, apakah mulai dari awal atau hanya kesalahan di lap 26. Motorku memang tak sesuai dan menghabiskan banyak kompon dari awal, mungkin aku salah memilih ban. Seharusnya hard atau extra hard, tapi tetap saja, yang dipikiranku, aku memikirkan skidding itulah yang menyebabkanku kehilangan posisi. Walau cepat atau lambat hal itu memang seharusnya terjadi.

Lap 29 of 29, last lap, dan garis finish telah kulewati. Dan akhirnya aku diposisi kedua. Positifnya aku masih dipodium, tak terjadi hal lebih buruk. Aku bisa melakukan apa yang bisa kulakukan, dan mungkin aku bisa terjatuh bila melakukan hal yang lebih gila lagi. Untunglah hal itu tak sampai sempat terjadi. Aku memang tidak menang, tapi aku tak terlalu merasa kalah atau disalip, karena memang aku sudah menarik remnya lebih cepat dan menahan gasnya lebih lama dari sebelumnya, ditiap tikungan.

Victory lap dilewati semua pembalap, tapi sejatinya lap ini hanya untuk pemenang di sirkuit ini. Pengendara ini hanya melewatinya agar bisa cepat kembali ke garasi di pitlane. Sempat kulihat ada yang melakukan selebrasi, tapi aku memacu motorku saja. Berusaha masih menghibur penonton dengan wheelie, lalu melambaikan tanganku di depan beberapa tribun. Aku menuju parc ferme.

Parc Ferme, Podium, and Paddock.

“Maaf George, aku tak bisa melakukan yang terbaik,” kataku padanya, setelah memakirkan motorku di parc ferme, dan melepas helm.

“Kau hebat Zack, kau sudah melakukan yang kau bisa, semoga beruntung di sirkuit selanjutnya,” tentu saja dia berusaha menentramkanku. Aku hanya bergegas ke ruang pemeriksaan, lalu semoga saja cepat ke ritual rutin sebuah Grand Prix selanjutnya.

Di podium, sembari mendengar lagu kebangsaan dan trofi dibagikan. Aku memandang sirkuit, keseluruhan sirkuit. Tikungan awal dimana segalanya bermula diujung kanan, dan tikungan akhir dimana segalanya berakhir diujung kiri. Layar besar untuk penonton di tribun sedang menampilkan gambar udara keseluruhan sirkuit.

Aku tersenyum, pada akhirnya, menyingkirkan segala kekesalanku, dan menikmati momen ini. Untuk mengingat waktu-waktu terbaik di balapan hari ini. Paling tidak aku sudah cukup cepat hari ini. Paling tidak aku pernah merasa senang ditiap tikungannya. Paling tidak aku sudah mencetak fastest lap di beberapa lap. Paling tidak aku sempat memimpin beberapa lap. Paling tidak aku masih diposisi podium kedua.

Sambil menyemburkan champagne, terlintas dalam pikiran. Mungkin ini hasil terbaik dan ideal. Motor Jepang menjadi pemenang di sirkuit negeri matahari terbit ini. Hasil yang diinginkan mayoritas penonton di sini. Ini mungkin bukan pula home race saya. Hari ini bukan hariku. Mungkin aku bisa lebih beruntung di Mugello, Assen, Catalunya, Valencia, atau entahlah. Setelah melempar botol champagne, yang tinggal setengah ke timku dibawah podium, aku turun, menuju garasi sebelum ke paddock untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan ini. Untuk mengatakan pada George dan timku…

“Aku tahu apa yang salah dengan motornya, dan bagian mana yang perlu diperbaiki agar lebih sesuai untuk sirkuit selanjutnya…”

(Roe Lesta, 28 Februari – 4 Maret 2011)