Minggu, 05 Desember 2010

CHAPTER 1 Pertemuan

PERTEMUAN

KRIINNGG…!!!! KRRIIINNNGGGG….!!!!

Dering seperti itu walau sudah tiap hari ku dengar, masih saja ampuh untuk membuatku bangun. Aku tak tahu persis apakah jam biologisku, alarmku, atau semua sugestiku yang membuatku bisa melakukan rutinitas tiap pagi begini. Bangun tidur, membuka jendela, membersihkan diri, sarapan lalu berangkat pada jalur yang sama setiap hari kerja menuju kantorku.

Dan seperti biasanya, kukeluarkan mobilku dari garasi, namun kali ini ada yang harus membuatku menginjak rem mendadak sebelum mobilku keluar pagar. Pejalan kaki itu seenaknya saja lewat depan gerbangku, dengan setengah berlari, bikin kaget saja! Sepertinya tak pernah kukenal perempuan itu sebelumnya. Aku kenal semua penghuni komplek ditempatku. Mungkin orang jogging yang kebetulan lewat, walau sedikit terlihat terburu-buru untuk ukuran jogging santai. Tak begitu merisaukannya, ku tetap berangkat menuju kantor. Ditemani radio pagi sebagai teman perjalanan yang lumayan panjang, bukan karena jaraknya, tapi kemacetan kotanya.

***

“Satya..!! mau ikut kami ke kedai kopi depan??”

Dua temanku sudah berkumpul menungguku rupanya, Radit dan Hendra, sepertinya Hendra yang memanggilku. Kedai kopi diseberang baru buka cabang depan kantorku, dan kami akan datang pada soft openingnya hari ini.

“Ya,,tunggu, aku ikut, bentar lagi selesai nih”

Ku jawab sambil memasukkan beberapa data analisis terakhir.

Aku keluar dari bilik kerjaku, menyambar jaketku, setengah berlari menghampiri mereka.

“Semoga diskon yang mereka tawarkan all menu yah…hahaha”

aku berusaha memulai pembicaraanku sambil berjalan.

“Namanya juga soft opening, kita coba saja mumpung lagi promo.”

Ajak Hendra, kepala bagian kontrol gudang bahan baku, dia yang paling bersemangat mencoba promo kedai kopi international franchise itu.

Bertiga, aku, Hendra, dan Radit sepakat membeli jenis kopi yang sama, tak terlalu mahal, tak terlalu murah dan sederhana. Radit mulai menunjuk salah satu nama menu kopinya

“Kita beli ini saja,sudah susah baca semua nama menunya,,haha,,”

“Haha,,okey,okey,,kalu begitu pesan tiga ya,,aku nunggu di meja sana saja.”

Aku mengajak Hendra memilih tempat dekat kaca luar yang menghadap jalan, aku selalu suka tempat terang.

Beberapa menit kemudian Radit membawa tiga cup kopi,

“Kali ini kamu yang bayar Hen,,kan kau yang ngajak,,haha”

“Setuju,,mumpung diskon nih,,kau kan belum traktiran ulang tahun, Hen,,haha”

Aku setuju sama usul Radit, lumayan, coffe break gratis.

“Aku ulang tahun kan bulan kemarin, emang libur dan cuti bersama karena puasa, mana sempat traktir kalian, keburu kadaluarsa..!!”

Nada suaranya meninggi, hampir sama ketika ia mengkritik staf-stafnya di gudang bahan baku, setiap hari.

“Ya gakpapa,,traktiran apa gitu” Radit masih membujuk.

“Sudah,sudah, responmu itu lho Hen,,aku yang bayar deh,,tapi ntar gantian lho”

Jadinya aku yang tekor hari ini, tapi tak apa.

“Aku bingung nih hari ini, tiba-tiba di SMS harus menjemput tiga temanku di bandara nanti sore, padahal aku sedang membawa motorku sore ini”

Tiba-tiba Radit cerita, tanpa ada yang tanya setelah dia membaca SMS-nya.

“lah, kalau mau ambil mobilmu dulu, jauh rumahmu ya?” tanyaku, mencoba peduli.

“Iya nih, gak sempat ntar, Hen, aku pinjam mobilmu sepulang nanti ya?”

“Wah, lalu aku pulang naik apa? Aku harus buru-buru pulang pula” jawab Hendra,

sudah ku duga, kapan pula dia pernah mau meminjamkan barangnya.

“Ya kau naik motorku Hen, okey?” Radit masih mau coba berdiplomasi.

“Aku kan gak bisa naik motor, punyamu pake kopling manual pula, mobilku aja transmisi otomatis” selalu punya banyak alasan dia.

“Motormu sekarang yang CBR itu kan..??” aku coba bertanya dulu, lihat apa responnya.

“Iya, hehe,,baru ganti lagi, yang Satria kujual, kenapa Sat?” sepertinya dia membaca maksduku.

“Kau pakai mobilku saja, tapi kau isi penuh bensinnya ya..??” dengan begini aku bisa mencoba CBR-nya, tentu saja aku penasaran rasanya.

“oh,,okey,,makasih ya Sat, ntar kita tukeran kuncinya aja”

CCIIIIITTTT….!!!!! TTIIIIIINNN….TTIIIINNNNN….!!!!!

Suara keras ban mobil yang direm tiba-tiba, dengan mengklakson seorang pengendra motor yang memutar balik tiba-tiba pula. Terjadi tepat saat berikutnya, terlihat olehku di seberang jalan sana. Yamaha V-Ixion itu sepertinya hendak mampir ke kedai kopi ini, setelah memutar balik di sebuah tempat putar balik boulevard. Tak cukup dengan klakson, sepertinya pengendara mobil itu masih menambah makian, entah apa yang dikatakannya, yang jelas sangat kesal.

Pengendara motor itu parkir dan membuka helmnya, ternyata seorang perempuan, seperti tak asing bagiku.

“Kapan coba perempuan mengendarai sesuatu dengan becus..?”

Tiba-tiba Radit berkata disebelahku, ternyata tak hanya aku yang memperhatikan kejadian tadi, agak bodoh juga mengira hanya aku yang melihat detail seluruhnya.

“Haha,,iya,,mereka emang gak bisa diandalkan naik motor atau mobil dengan benar”

Dalam hal ini aku juga setuju dengan Radit.

“Apa sih yang terjadi?” tanya Hendra setelah membalikkan badannya,

dia memang dari tadi duduk menghadap kami, jadi gak bisa langsung melihat seorang perempuan naik motor sport hampir tewas ditabrak mobil.

Sementara Radit berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Hendra, aku masih memperhatikan perempuan itu, dia buru-buru masuk kedai kopi Starbucks ini, tempat kami beristirahat. Aku 80% yakin bahwa perempuan itu adalah yang hampir ku tabrak karena dia seenaknya berlari di depan pintu pagarku. Ternyata dia berbakat untuk membuat dirinya sendiri ditabrak dan dalam bahaya rupanya, berjalan kaki saja bahaya, apalagi naik motor, pikirku waktu itu.

Dia membeli dua cup kopi untuk dibawa pulang, dan masih terburu-buru membayar dan langsung pergi menuju motornya. Sempat kuperhatikan rambut sebahunya, kulit putih wajahnya. Kaus pink dan jeans’a yang kasual dengan jaket tipis yang lebih bersifat menutupi kulit lengan dibanding mencegah dingin atau terpaan angin. Aku sedikit tersenyum, naluri laki-lakiku bisa muncul saat seperti ini, untuk terus memandangnya ketika dia mengenakan helm, menyalakan motornya lalu melaju pergi lagi. Aku berpikir lagi, ternyata pantas juga dia membawa motor jenis sport itu. Walau tak umum, tapi dia terlihat menarik secara keseluruhan.

“Sat,,ayo kerja lagi,,mikir apa kau?” Radit cukup mengagetkanku. Aku kemudian ke kasir dan membayar semuanya.

Sebelum menyeberang aku masih menyempatkan diri melihat sepanjang jalan tempat gadis tadi pergi, ke arah dimana biasanya aku pulang nanti. Tentu saja dia sudah tak terlihat, jalannya terlalu ramai, kalau bukan karena jembatan penyeberangan, aku gak bisa nyeberang dari tadi. Cukup menarik untuk memikirkan, berikutnya akan hampir ditabrak apa lagi ya dia?

***

“Sat,,ini kunci motor sama STNK-nya” Radit tiba-tiba ngelempar kuncinya ke mejaku.

“Ya,,bentar,,aku ambilin kunci-STNK mobilku, tankinya penuh sih,tadi aku bercanda”

“Haha,,makasih,tapi kau isi bensin motorku ya? Pertamax lho…” malah Radit yang menagihku.

“hehe…dasar…dimana kau parkirnya? Parkiran motor di sini kan luas” memang parkir motor karyawan sama buruh disini luas banget.

“Aku parkir di basement tempat parkir mobil koq, gampang dicarinya kan?,,masa CBR parkir bareng motor-motor bebek itu? Hahaha…” Radit bisa juga congkak kayak gitu.

Aku turun ke basement, mencari motornya memang tidak susah. CBR merah mencolok sekali dekat pintu keluar dan tangga naik ke ground lobby. Malas parkir jauh-jauh si Radit rupanya. Aku menstarter motornya, tangkinya setengah, ku isi SPBU dekat rumah saja berarti. Ku mengendarai keluar kantor, lalu kearah rumah, benar-benar motor yang menyenangkan. Aku berhenti di sebuah perempatan, lampu merah masih kisaran 20 detik, aku melihat-lihat sekelilingku.

Kemudian aku cukup kaget, perempuan tadi, ya benar-benar perempuan yang hampir tewas tadi, dia berhenti didepanku.

Lampu hijau menyala, ku akan coba mengikutinya. Sepertinya arahnya sama denganku. Perumahanku di daerah sub-urban, jadi akan melewati jalan yang cukup berkelok beberapa kali untuk sampai disana. Akan kulihat bagaimana gadis ini melewatinya, tentu saja menyenangkan dengan CBR si Radit ini.

Dia cukup cepat untuk ukuran cewek menurutku. Dia mengerem cukup lambat di tikungan, berakselerasi keluar tikungan cukup cepat, melewati tikungan terkadang tanpa perlu menyalakan lampu remnya, artinya dia tak mengerem! Tak sadar, kita bahkan menjadi cukup cepat untuk jalan ini, boleh juga dia menurutku, tapi jangan-jangan dia tak menyadari resikonya seperti tadi pagi, tapi lining-nya cukup rapih di jalan dua arah.

Hingga akhirnya sampai di daerah tempat perumahanku berada. Apa dia benar-benar penghuni baru di komplekku? Aku masih coba mengikutinya, ternyata melewati perumahanku bahkan lewat jalan depan rumahku, yang ku lirik bentar. Lalu dia keluar dari perumahan, dan sepertinya menuju arah yang aku tahu. Sebuah asrama mahasiswa, yang dimiliki sebuah yayasan beasiswa, emang aneh, agak jauh dari kampus terdekat. Sejauh ini yang aku tahu asrama itu khusus putra, apa dia ketempat pacarnya? Sudah punya pacar dia ternyata ya?

***

Aku menghentikan untuk mengikutinya. Tentu saja, buat apa pula dilanjutin? Aku memutuskan untuk membeli makan di sebuah kafe dekat situ. Setelah memesan, dan agak berlama-lama melahap semua menu yang kupesan, aku masih penasaran dengan perempuan tadi. Segera setelah aku menghabiskan makanku, kuambil telepon genggamku. Fasilitas WiFi di sini lumayan, aku buka akun Facebook-ku, melihat dan menjawab semiua notification-ku. Lalu aku memutuskan untuk mengupdate statusku, cukup menarik:

…motor bagus, dan cewek menarik mampu membuatku melirik untuk beberapa detik,,tapi cewek menarik mengendarai motor bagus, membuatku melirik lebih lama…

Aku sambil berusaha berdiri, masih mengetik dan menekan tombol ‘share’. Aku memutar badan ke arah kasir, dan bodohnya sambil tak melihat depan.

BRUK…!!!

Seseorang menabrakku, tas ransel yang dibawanya, isinya tumpah, entah kenapa. Aku buru-buru hendak menolong yang menabrakku, ternyata perempuan. Aku kaget lagi, dan ternyata dia perempuan yang tadi pagi dan yang sore hari kuikuti! Sejenak aku masih dalam mode kaget dan terlintas dalam pikirku, akhirnya dia menabrak seseorang hari ini.

“Maafkan saya Mba, Mba gakpapa kan?” aku setengah panik.

“Oh,,gakpapa,tadi saya salah juga, cari dompet di ransel sampe nabrak Mas, dan tumpah semua gini”

Dia masih berusaha memasukkan beberapa barangnya ke ransel kembali dan kubantu. Pantas saja tumpah beberapa gini, koq bisa cari dompet berakibat segini parah? Aku tak sengaja melihat satu dokumen yang tercantum sebuah nama, Anindita Aprilia, namanya kah?

“Maaf ya Mba, salah saya juga, tadi main HP gak liat Mba juga” tapi emang kayaknya dia yang setengah berlari menabrakku, senang sekali terburu-buru rupanya.

“Makasih ya Mas” setelah selesai memasukkan semua yang tumpah ke ranselnya, dia menuju bagian pesanan makanan, dan aku seperti mengikutinya padahal hendak ke kasir.

“Pesan dua paket ayam dibungkus ya Mas” dia memesan, sambil mengetuk-ngetukan jarinya di meja.

Aku pun berbicara dengan kasirnya, “Saya mau bayar makanan meja dua tadi, dan pesanan Mba ini ya?”

Kulihat ekspresinya, kaget tidak percaya, seperti sudah aku duga.

“Eh,,Mas mau bayarin pesanan saya?” koq masih pake bertanya dia ya? Padahal tak ada orang lain sekarang di meja pesanan dan di kasir yang bersebelahan.

“Iya, anggap saja ini permintaan maafku” aku mencoba sopan, seperti seharusnya dilakukan tentu saja.

“Eh,,Mas gak perlu gini, saya jadi gak enak,,beneran deh gakpapa” tentu saja aku hanya tersenyum.

“Udah gakpapa,,moodku sedang bagus hari ini” padahal alamat tekor tiga kali hari ini,hahaha.

“Ohya namaku Satya Putra, aku tinggal dekat sini, Mba penghuni baru disini?”

“Ah,,iya,,Anindita Aprilia, panggil saja Dita” lalu dia memperhatikan pesanannya disiapkan, sepertinya lupa pertanyaanku, aku tersenyum, namanya memang itu, bagus.

“Saya sepertinya melihat Mba jogging pagi ini, Mba Dita tinggal dekat sini?” aku masih bertanya, walau aku yakin 90% sekarang, pagi,siang,sore tadi adalah perempuan yang sama.

“Oh,,maaf hehe, tidak, saya sedang menengok adik saya, dia tinggal asrama dekat sini” jawabnya, jadi yang kukira asrama pacarnya ternyata asrama adiknya.

“Adik Mba Dita sedang sakit? Ini beli makanan untuknya ya? Sekalian saja minumnya” maksudku menolong, dan gak perlu tanggung-tanggung

“Mas, sekalian minumnya bungkus dua” aku setengah berteriak namun sambil menghadap pada Anindita ini untuk bertanya padanya dulu.

“Adikmu suka apa? Kopi mungkin?” mencoba menguji teoriku jika benar, kenapa dia tiba-tiba belok di Starbucks dan hampir ditabrak.

“Iya,adik saya sangat suka kopi, aduh saya jadi gak enak nih” jawabannya membuat 1st clue agak terpecahkan, tapi sejauh itu, kenapa ya? Aku bertanya sendiri.

“Adik Mba Dita kuliah dimana?” aku mencoba mengambil topik lain, sambil dia mengambil pesanannya dan berjalan keluar.

“Di Universitas Pelita, ini tahun pertamanya” lumayan dia mau memberikan sedikit info tambahan, paling tidak dia tak terlalu dingin.

“Mba Dita kuliah atau kerja disini?” entah kenapa aku tanya terus gini, tapi gak lucu juga kalau aku cuek dan pergi saja.

“Saya difakultas yang sama dengan adik saya, di Fisipol, ohya panggil Dita saja ya” Jawabannnya membuatku tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya, hehe. Jadi itu sebabnya kenapa dia beli kopi dekat kantorku, yang memang berada di jalur antara komplek ini dan kampus swasta itu.

“Motor yang bagus, Dita” sambil aku lihat motor Yamaha-nya.

“Hahaha,,ini motornya Bayu” jawabnya sambil mengenakan helm dan naik motor, terlihat terbiasa sekali jika itu hanya sebuah motor adiknya.

“Bayu adiknya kau?” tanyaku memastikan.

“Iya,,hmm,motor CBR-mu lebih mahal, kau menyindirku tadi ya?” aku memang baru menaiki motornya Radit juga.

“Haha,,bukan,bukan,,ini motor teman saya,sedang kupinjam” lumayan juga pikirku, sedang pinjam motornya Radit, jadi ingat, dia kemanakan saja mobilku?

“Oh gitu, terima kasih sekali lagi” dia sudah menstarter motornya.

“Ya, semoga Bayu cepat sembuh ya, Dita”

Entah apa maksud dari kata-kataku selama ini. Aku hanya berusaha menjadi baik dan sopan. Dia tersenyum, walau aku hanya melihat matanya yang menghadapku bentar di balik helm fullface-nya. Aku menstarter motorku dan pulang, setelah Anindita pergi dengan cepat dan terlihat terburu-buru.

Sampai rumah aku langsung mandi dan siap-siap tidur setelahnya. Hari yang lumayan menyenangkan menurutku. Mungkin sebagian besar karena pertemuanku dengan Anindita Aprilia itu juga. Benar-benar nama yang bagus dengan orang yang menarik. Paling tidak hari ini aku tahu namanya. Kenalan baru, entah apa yang bisa terjadi besok dan besok-besok. Haha, I didn’t even think it or plan it. Aku tersenyum bentar, dan merebahkan badanku di tempat tidur.

Satu lagi hari yang menarik.

(Roe Lesta, 27-28 November 2010)