Minggu, 13 Maret 2011

SPLITTED SOUL

Aku membuka mataku. Dan dihadapanku hanya ada warna putih, sejauh memandang hingga cakrawala. Begitu terang, putih, namun tak menyilaukan. Aku berada di padang beralas lantai gading bersih dan mengkilap, dengan langit putih awan yang sama sekali tak kukenali.

Aku berdiri, dan melihat sekelilingku, tak ada yang lain selain diriku, dan beberapa helai bulu sayap yang gugur dari sayap patahku. Aku hanya bisa melipat dan meregangkan sayap putih dipunggungku, sambil terheran ketika melihat bayangan diriku di lantai gading jernih ini. Semua sama, kecuali sayap dibayanganku begitu buruk rupa. Hitam, kulit mengelupas hingga tulang terlihat, dan tak ada bulu melainkan hanya membran diantara cakar-cakarku disayapnya.

Sesosok tubuh bercahaya, yang kali ini sungguh menyilaukan, datang entah darimana dan berdiri dihadapanku. Aku sedikit terhenyak dan mundur ke belakang beberapa langkah. Ketika tubuh bercahaya dan transparan itu melemparkan dua benda dihadapanku dan mereka berdentang begitu keras.

“Kau..!!! tak seharusnya berada disini, sekarang…!!!”

Suara itu bagai gema di gua yang bergaung, ditelingaku. Namun sepertinya dari sosok yang sekarang menghilang setelah kusadari apa yang dijatuhkan dihadapanku. Sebuah belati dan sebuah cincin.

Kuambil cincinnya, emas, polos, dan sederhana. Ketika kukenakan di jariku. Sekelebat ingataku yang sama sekali tak ada yang jelas, bertumpuk-tumpuk, dan berganti-ganti berulang-ulang begitu cepat memenuhi pikiranku.

“KAU YANG SALAH..!!”

“KAU MENYEDIHKAN..!!”

“KAU PAYAH DAN LEMAH..!!”

“TAK ADA YANG PEDULI..!!”

“APA PULA MAKSUDMU..!!”

“KAU TAHU PERSIS ITU TAK SEHARUSNYA..!!”

“KAU SUNGGUH ANGKUH..!!”

“APA YANG AKAN KAU KATAKAN PADA MEREKA..!!”

“SEMUA SUDAH TAK BERGUNA SEKARANG..!!”

Kalimat-kalimat itu berulang-ulang diteriakan dikepalaku, dan membebani benakku, selagi tumpukan memori itu masih berkelabat cepat berganti-ganti, terbayang. Begitu sakit kepalaku, hingga akhirnya mataku kembali terbuka seraya aku membanting cincinnya kedepan. Suara dan bayangan itu pun menghilang.

Ternyata aku telah tertunduk dan menahan tubuhku dengan kedua lenganku, dengan nafas tersengal, cepat dan pendek. Di sebelah telapak tangan kiriku, tergeletak belati perak itu. kuambil belatinya, dan yang terjadi hanyalah rasa hangat, nyaman, tenang, dan bahagia. Namun itu menghilang lagi dengan cepat ketika belatinya berubah hitam dan dingin.

Lalu aku tak tahu kenapa aku melakukannya, kuambil cincin yang ternyata telah berubah hitam pula, aku berjongkok dan memutar cincinnya seperti memutar keping logam. Kupandangi lama sekali, berjam-jam, dan cincin itu masih berputar seakan tak mau goyah dan tak mau jatuh. Aku tak mengerti lagi kenapa aku melakukannya, seakan ada tangan yang mengendalikan tanganku, dan tak bisa kucegah atau kulawan. Aku juga mendengar suara diteriakan di belakang telingaku.

“Kau..!!! tak seharusnya berada disini, sekarang…!!!”

Aku memegang belatinya terbalik saat ini, yang sudah dalam posisi tepat kearahku, dan dengan cepat belatinya ditusukkan ke perutku.

Rasa sakit, perih, menusuk, dingin, merayapi seluruh tubuhku. Tubuhku sekarang mendingin dan beku, namun ada rasa membakar dari luka yang baru saja kubuat. Dan dibayangan diriku yang terlihat di lantai gading putih dan jernih itu, terlihat diriku yang meronta, kesakitan, sekarat, dan terbakar api. Walau aku yakin diriku sedang diselimuti lapisan es yang dingin yang membuat diriku hanya bisa tergeletak tak bergerak.

Aku berusaha teriak, sekeras mungkin, namun tak ada suara yang keluar dari mulutku, selain sekelebat memori dan suara mengerikan beruntun itu datang lagi. Dan aku yakin aku tak bisa bernafas lagi, sesak, dan pandanganku telah kabur, perlahan.

***

Aku membuka mataku lagi, namun yang kuhadapi sinar yang terang, putih, tapi menyilaukan. Pandanganku mulai bertambah jelas lagi, namun luka diperutku masih terasa begitu sakit dan perih menusuk. Aku mengerjapkan mataku, dan sesosok wanita disampingku berkata padaku dengan nada suaranya yang sedikit bergetar.

“kau sudah siuman..?? kau sudah bangun..??”

Aku masih bingung dan tak bisa mengatakan apa-apa. Kemudian ada suara lain lagi.

“Syukurlah kalau dia tersadar, masa kritisnya dilewati dengan baik, aku sudah berusaha dan berharap tak terjadi infeksi di luka tusuk perutnya”

“terima kasih Dok, Alhamdulillah”

“Ohya, ada kabar baik dari bagian forensik, mereka telah mendapat informasi siapa pemilik sidik jari yang tertinggal di gagang pisaunya dari polisi, sekarang sedang diproses lanjut”

“iya, sekali lagi terima kasih Dok”

(Roe Lesta, 11 & 13 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar